Berita
Local

Perluasan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Laut

Indonesia memperkuat perannya di pasar tenaga kerja internasional melalui penempatan Anak Buah Kapal (ABK) migran Indonesia untuk bekerja di kapal-kapal penangkap ikan berbendera asing. Data dari Direktorat Pelindungan Warga Negara Indonesia, Kementerian Luar Negeri, mengindikasikan bahwa sekitar 250.000 pekerja migran perikanan Indonesia yang bekerja di kapal perikanan asing dari tahun 2013 hingga 2015, dan jumlah tersebut diyakini meningkat dalam beberapa tahun belakangan. Melihat pentingnya kontribusi industri perikanan terhadap ketahanan pangan di Kawasan ASEAN ini, maka kebutuhan untuk mengatasi kondisi ketenagakerjaan di kapal-kapal penangkap ikan harus mendapat perhatian yang lebih besar.

Untuk meningkatkan pelindungan dan memastikan kesejahteraan para pekerja migran Indonesia yang bekerja di laut, IOM dan BP2MI menyelenggarakan lokakarya tentang penempatan dan pelindungan pekerja migran Indonesia yang bekerja sebagai ABK kapal penangkap ikan dan kapal niaga di Jakarta pada tanggal 20 Juni 2024. Pemerintah Indonesia telah mengatur penempatan dan pelindungan pekerja migran Indonesia dalam Undang-undang (UU) No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran. Kemudian pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2022 untuk memperluas pelindungan bagi mereka yang bekerja di laut, khususnya bagi para awak kapal niaga dan kapal penangkap ikan. Hal ini menandai sebuah kemajuan yang cukup besar bagi kesejahteraan pekerja migran Indonesia di sektor maritim.

"Peraturan ini belum sepenuhnya diimplementasikan. Perlu sinergi dari seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan pelaksanaannya," ujar I Ketut Suardana, Pejabat Sementara Sekretaris BP2MI, dalam sambutannya.

Mariko Tomiyama, Koordinator Program IOM Indonesia menekankan, "Sangat penting untuk mendengarkan aspirasi pekerja migran di sektor kelautan, untuk mengidentifikasi kesenjangan pelindungan, serta untuk menjawab tantangan-tantangan yang mereka hadapi. Pemerintah tidak dapat menjamin pemenuhan hak dan perlindungan yang lebih baik jika bekerja sendirian. Meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat dan pemangku kepentingan terkait, termasuk sektor swasta dan masyarakat sipil, serta para pekerja migran itu sendiri, sangat penting untuk mengatasi masalah ini secara menyeluruh."

Lokakarya ini dibagi menjadi dua sesi, dimana sesi pertama membahas kerangka regulasi nasional dan global dengan pembicara dari Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Universitas Paramadina.

Berbagai Kementerian ikut terlibat dalam sesi pertama untuk meninjau peraturan yang saling tumpang tindih, khususnya mengenai penempatan pekerja migran yang bekerja di laut. Perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI) harus memiliki lisensi dari Kemenakertrans dan BP2MI. Sementara itu, untuk industri maritim, mengingat perekrutan, penempatan, dan pelindungan TKI di laut dilakukan oleh perusahaan penyalur awak kapal, lisensi mereka diterbitkan oleh Kementerian Perhubungan.

Benni Hasbiyalloh, pembicara dari Universitas Paramadina, menyoroti isu tumpang tindih ini."Ketidakharmonisan regulasi dan dualisme kewenangan dalam penempatan dan pelindungan ABK kapal perikanan dan kapal niaga masih sering terjadi. Oleh karena itu, penyelarasan regulasi harus diprioritaskan".

Sesi kedua  menyoroti perlindungan pekerja migran di sektor kelautan dan mekanisme pengaduan dengan para pembicara dari BP2MI, Kementerian Luar Negeri, IOM, dan Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI). Sesi ini menekankan pentingnya standarisasi prosedur pelindungan bagi pekerja migran di laut karena mereka mendapatkan orientasi pra-keberangkatan yang berbeda dengan pekerja migran di darat. BP2MI mengawasi PDO untuk pekerja migran berbasis darat, sementara agen tenaga kerja menyelenggarakan PDO untuk pekerja yang mereka rekrut.

Sebuah studi yang dilakukan oleh IOM berjudul "Menelusuri Pekerja Migran Indonesia:Studi tentang Proses Perekrutan dan Penempatan Pekerja Migran Perikanan Indonesia di Republik Korea" mengungkapkan bahwa semua pekerja menerima orientasi dari agen penempatan awak kapal sebelum keberangkatan mereka; namun, tidak ada standardisasi dalam penyampaian orientasi tersebut seperti yang diterapkan dalam PDO yang diselenggarakan oleh BP2MI.

BP2MI menutup lokakarya dengan merangkum hasil diskusi dan menyampaikan bahwa semua hasil diskusi akan dikompilasi menjadi rekomendasi untuk kementerian dan lembaga terkait. Dengan dukungan dari Migration Multi-Partner Trust Fund (MMPTF), diharapkan lokakarya ini dapat memastikan pelindungan dan kesejahteraan para ABK kapal perikanan dan kapal niaga migran Indonesia dimanapun mereka berada, terlepas dari status migrasi mereka.