-
Siapa Kami
Siapa KamiOrganisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) adalah bagian dari Sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai organisasi antar-pemerintah terkemuka yang mempromosikan migrasi yang manusiawi dan teratur untuk kepentingan semua. IOM telah hadir di Indonesia sejak 1979.
Tentang
Tentang
IOM Global
IOM Global
-
Kerja kami
Kerja KamiSebagai organisasi antar-pemerintah terkemuka yang mempromosikan migrasi yang manusiawi dan teratur, IOM memainkan peran kunci untuk mendukung pencapaian Agenda 2030 melalui berbagai bidang intervensi yang menghubungkan bantuan kemanusiaan dan pembangunan berkelanjutan. Di Indonesia, IOM mendukung para migran melalui berbagai kegiatan pemukiman kembali, dukungan dan pelindungan.
Apa yang kami lakukan
Apa yang kami lakukan
Cross-cutting (Global)
Cross-cutting (Global)
- Data dan sumber informasi
- Ambil Aksi
- 2030 Agenda
Pandemi COVID-19 dan Risiko yang Dihadapi oleh Anak-Pekerja Migran Indonesia yang ditinggalkan Bermigrasi
Jakarta - IOM menggelar Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) secara virtual dengan topik “Peningkatan Pengasuhan dan Pelindungan Anak Pekerja Migran Indonesia yang Ditinggalkan Bermigrasi” pada hari Selasa, 12 Oktober 2021.
FGD ini bertujuan untuk lebih jauh memetakan situasi terkini yang dihadapi oleh para Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan anak-anak yang ditinggalkan bermigrasi, terutama mengingat adanya potensi dan tantangan tambahan yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19, serta untuk mengidentifikasi berbagai inisiatif dan intervensi lokal yang dapat direplikasi dan sebagai upaya meningkatkan respon terkait di masa depan.
“Diskusi Kelompok Terfokus ini merupakan suatu upaya bersama untuk mengisi kesenjangan informasi terkait situasi dampak COVID-19 terhadap Anak Pekerja Migran Indonesia dengan melihat tantangan, peluang, dukungan dan pembelajaran masa lalu, sekaligus untuk melakukan perencanaan dan koordinasi yang lebih baik di masa depan yang didasarkan pada rekomendasi berbasis bukti dan pengalaman praktik baik yang sudah ada,” ujar Zena Van-Bemmel Faulkner, Project Manager di IOM Indonesia.
Persoalan yang dihadapi oleh anak-anak pekerja migran yang ditinggalkan bermigrasi saling berkelindan dengan isu lainnya dan tidak dapat dilepaskan begitu saja dari norma-norma ketidaksetaraan gender yang berlaku ataupun dari konsep keibuan (motherhood) di tanah air, dimana sebagian besar masyarakat lebih banyak bertumpu pada peran pengasuhan dari perempuan dalam keluarga. Seperti yang dipaparkan oleh Ibu Elisabeth Dewi, pakar Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan yang telah mengamati masalah ini selama sekitar 14 tahun, “Kebanyakan wanita yang bermigrasi melakukannya demi keluarga dan bukan untuk pemenuhan diri mereka sendiri, namun mereka sering kali para pekerja migran perempuan distigmatisasi karena meninggalkan keluarga dan anak-anak mereka.”
Studi sebelumnya yang dilakukan oleh Kementerian Sosial pada tahun 2018 menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, pengasuhan alternatif sering diberikan oleh anggota keluarga lainnya, yang tidak selalu memiliki kapasitas penuh atau informasi yang utuh mengenai bagaimana memberikan dukungan dan pengasuhan yang memadai kepada anak-anak pekerja migran yang ditinggalkan bermigrasi.
“Pengasuhan alternatif yang peduli dan suportif sangat penting untuk tumbuh kembang anak-anak yang ditinggalkan bermigrasi. Ketika ibu saya harus merantau dan bekerja di Singapura selama 25 tahun untuk menghidupi keluarga, saya cukup beruntung memiliki paman dan bibi yang merawat saya seperti anak mereka sendiri,” kata Yoga Prasetyo, seorang peneliti independen yang juga merupakan salah satu narasumber pada FGD, berbagi pengalamannya sebagai anak pekerja migran.
Terdapat 43 orang yang hadir dalam FGD ini dan berasal dari lintas sektor, antara lain institusi pemerintah, organisasi internasional, dan lembaga swadaya masyarakat. Beberapa dari mereka berbagi pengalaman dalam mendukung inisiatif di tingkat masyarakat. Mereka juga menekankan betapa pentingnya upaya yang lebih solid di masa Pandemi COVID-19 yang turut serta membawa dampak peningkatan resiko dikarenakan situasi ekonomi yang memburuk, seperti kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba dan adanya pembatasan dalam melakukan perpindahan. Situasi ini tidak terkecuali juga dihadapi oleh para keluarga Pekerja Migran Indonesia.
Di Nusa Tenggara Barat (NTB), sebagai salah satu provinsi wilayah pengirim utama Pekerja Migran Indonesia, kami mengamati bahwa telah terjadi peningkatan jumlah anak yang dipaksa menikah di usia anak selama pandemi COVID-19, dan ini secara signifikan termasuk anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya untuk bermigrasi. Melalui upaya bersama, kami mampu meningkatkan kapasitas tokoh masyarakat dan para tokoh yang berpengaruh untuk lebih memperhatikan dan mengambil peran dalam mengatasi masalah ini,” kata Suharti, perwakilan dari sebuah LSM pemerhati isu anak, SANTAI NTB.
Diskusi dan inisiatif tindak lanjut yang hendak dilaksanakan kedepan diharap dapat mempererat kerja sama dan kemitraan antar instansi terkait sehingga tercipta sinergi yang efektif dalam menjamin pengasuhan dan pelindungan anak pekerja migran yang ditinggalkan bermigrasi. Inisiatif ini merupakan bagian dari program IOM yang sedang berlangsung terkait respons COVID-19, yaitu “Pemberdayaan Pekerja Migran dan keluarga, serta untuk meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan di berbagai pintu masuk wilayah Indonesia” atau program PMPMI yang didukung oleh Korea International Cooperation Agency (KOICA).
Untuk informasi lebih lanjut, mohon dapat menghubungi Pya Ayunindya di IOM Indonesia. Email: sayunindya@iom.int