-
Siapa Kami
Siapa KamiOrganisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) adalah bagian dari Sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai organisasi antar-pemerintah terkemuka yang mempromosikan migrasi yang manusiawi dan teratur untuk kepentingan semua. IOM telah hadir di Indonesia sejak 1979.
Tentang
Tentang
IOM Global
IOM Global
-
Kerja kami
Kerja KamiSebagai organisasi antar-pemerintah terkemuka yang mempromosikan migrasi yang manusiawi dan teratur, IOM memainkan peran kunci untuk mendukung pencapaian Agenda 2030 melalui berbagai bidang intervensi yang menghubungkan bantuan kemanusiaan dan pembangunan berkelanjutan. Di Indonesia, IOM mendukung para migran melalui berbagai kegiatan pemukiman kembali, dukungan dan pelindungan.
Apa yang kami lakukan
Apa yang kami lakukan
Cross-cutting (Global)
Cross-cutting (Global)
- Data dan sumber informasi
- Ambil Aksi
- 2030 Agenda
IOM dan Kementerian Sosial Membahas Praktik Terbaik dalam Pemberian Layanan Dukungan Psikososial bagi Laki-Laki Korban Perdagangan Orang
International Organization for Migration (IOM), bekerja sama dengan Kementerian Sosial Republik Indonesia, menyelenggarakan diskusi publik hibrida tentang Layanan Dukungan Psikososial bagi Laki-Laki Korban Perdagangan Orang pada 26 Juli 2023. Dihadiri oleh 50 peserta, terdiri dari 27 laki-laki dan 23 perempuan, pertemuan tersebut mengumpulkan perwakilan dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, pekerja sosial, asosiasi, dan penyintas perdagangan orang. Pertemuan ini bertujuan untuk berbagi praktik terbaik untuk memberikan dukungan tersebut dan memperkenalkan Panduan Teknis Penyediaan Dukungan Psikososial untuk Laki-Laki Korban Perdagangan Orang yang telah dikembangkan sejak tahun 2022.
“Pedoman teknis ini dikembangkan sebagai bagian dari upaya bersama dalam memperkuat perlindungan terhadap korban perdagangan orang. Gagasan tersebut muncul dari situasi kasus perdagangan orang di Indonesia dan regional saat ini dimana laki-laki juga mengalami eksploitasi. Sementara, sebagian besar pelayanan dan bantuan yang ada kepada korban perdagangan orang lebih siap memberikan layanan kepada perempuan dan anak. Beberapa tantangan ditemukan saat memberikan dukungan psikososial kepada korban laki-laki, termasuk kesulitan untuk mengartikulasikan kebutuhan dan perasaan mereka. Ini mempengaruhi proses pemulihan,” ungkap Sebastien Reclaru, Manajer Program IOM. Dalam pembukaannya, Ia juga menyoroti meningkatnya jumlah laki-laki korban perdagangan manusia. Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC) mencatat 485 korban laki-laki yang mendapat bantuan pada tahun 2022, meningkat 78% dari tahun 2021. Konsultan pembuatan panduan ini, Suarni Daeng Caya, menyoroti baba ketiga dari panduan ini. “Bab ketiga berbicara tentang layanan dukungan psikososial khusus untuk laki-laki korban perdagangan orang yang dibagi menjadi tiga jenis pendampingan yaitu pendampingan individu, keluarga, serta komunitas dan masyarakat. Panduan ini juga menyebutkan beberapa jenis terapi yang dapat diberikan kepada korban laki-laki. Namun, para terapis memerlukan pelatihan khusus.”
Panduan ini dikembangkan untuk mendukung kerja para pemberi layanan baik pemerintah maupun non pemerintah. Rahmat Koesnadi, Direktur Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial menekankan pentingnya dukungan psikososial bagi para korban. “. Yang terpenting setelah selesainya buku ini adalah bagaimana dukungan psikososial dapat diimplementasikan dalam pelayanan kami, termasuk di Rumah Perlindungan dan Trauma Center. Kami mengapresiasi kerja sama ini dan berharap dapat semakin diperkuat di masa mendatang”.
Acara dilanjutkan dengan talkshow pada siang hari yang dimoderatori oleh Among Resi, Manajer Proyek IOM Thailand. Acara bincang-bincang tersebut mengundang pembicara dari Kementerian Sosial (Bapak Rahmat Koesnadi), Pekerja Sosial Profesional Indonesia Mandiri (Bapak Puji Pujiono), dan penyintas trafiking untuk berbagi pandangan. Pujiono memaparkan tiga aspek krusial dari dukungan psikososial. “Dukungan psikososial merupakan proses holistik mulai dari pencegahan, perlindungan, dan penindakan. Jenis dukungan ini hanya dapat diberikan oleh orang yang terampil dan bersertifikat. Terakhir, harus melibatkan keluarga dan komunitas dan menempatkan korban sebagai pusat dari setiap keputusan”..
Acara ini juga dihadiri oleh para praktisi dan peneliti di bidang sosial yang memberikan wawasan selama diskusi. Meity Subardhini dari Politeknik Kesejahteraan Sosial Bandung menyoroti pentingnya pendampingan yang peka gender. “Saya pertama kali mempertanyakan mengapa kami membutuhkan panduan khusus tentang dukungan psikososial untuk korban laki-laki. Tetapi setelah mempelajari masalah ini secara menyeluruh, saya setuju bahwa kami membutuhkan ini. Memang ada beberapa perbedaan perilaku dan fisiologis antara wanita dan pria. Oleh karena itu, bantuan khusus yang mempertimbangkan kepekaan gender diperlukan untuk memastikan bahwa semua korban dibantu dengan benar.”
Diskusi publik menyimpulkan bahwa pendekatan yang berpusat pada korban harus diarusutamakan selama pemberian dukungan psikososial. Acara ini terselenggara atas dukungan Uni Eropa melalui proyek Ship to Shore Rights South East Asia.