Berita
Local

Hari Dunia Anti Perdagangan Orang 2024: Menciptakan Lingkungan Migrasi yang Aman untuk Melawan Perdagangan Orang

panel discussion

Perempuan dan anak masih menjadi kelompok yang paling rentan dalam kasus perdagangan orang. Laporan terbaru dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengungkapkan bahwa 97% korban perdagangan orang di Indonesia pada tahun 2019-2023 adalah perempuan dan anak. Selain itu, laporan dari International Organization for Migration (IOM) tentang data perdagangan anak selama dua puluh tahun menunjukkan bahwa anak-anak berisiko lebih tinggi untuk diperdagangkan dibandingkan dengan orang dewasa, terutama jika mereka berasal dari daerah berpenghasilan rendah atau rawan bencana. Di sisi lain, perempuan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kekerasan berbasis gender selama perjalanan migrasi mereka.   

Kasus-kasus perdagangan orang didorong oleh faktor penarik dan pendorong. Janji kehidupan yang lebih baik di negara lain sering kali memotivasi orang untuk bermigrasi dari tempat asalnya. Di sisi lain, faktor-faktor seperti terbatasnya lapangan pekerjaan dan kondisi geografis yang buruk akibat perubahan iklim mendorong seseorang untuk meninggalkan daerah asalnya. Di Indonesia, berdasarkan data Kepolisian Republik Indonesia, terdapat 1062 kasus TPPO yang dilaporkan pada tahun 2023 dan data tersebut menunjukkan tren peningkatan kasus sebagai akibat dari penggunaan teknologi yang masif.   

Untuk mengatasi masalah ini, IOM, UN Women dan KPPPA menyelenggarakan diskusi interaktif pada tanggal 30 Juli 2024 untuk memperingati Hari Dunia Anti Perdagangan Orang. Acara ini berfokus pada kebijakan dan praktik terbaik untuk mencegah dan memerangi TPPO, serta inisiatif yang telah berhasil dilakukan oleh pemerintah daerah di Indonesia, seperti pembentukan mekanisme rujukan tingkat desa, kampanye inovatif yang melibatkan komunitas pemuda, organisasi masyarakat, dan media. Acara ini dihadiri oleh lebih dari 200 peserta, baik secara langsung maupun daring, termasuk anggota Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dinas-dinas provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia, serta para pemangku kepentingan terkait lainnya. Tema tahun ini, Leave No Child Behind in the Fight Against Human Trafficking, mendorong setiap negara untuk memprioritaskan perlindungan anak, memperkuat hukum, meningkatkan penegakan hukum, dan mengalokasikan lebih banyak sumber daya untuk memerangi perdagangan anak.  

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga, dalam sambutannya mengatakan, "Diperlukan gerakan masif dari masyarakat akar rumput dan keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat untuk terus melakukan sosialisasi dan edukasi tentang bahaya TPPO di desa."  

Selain itu, Menteri Bintang Puspayoga menyebutkan bahwa KPPPA telah menerbitkan Peraturan Menteri PPPA No. 2 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berbasis Masyarakat. "Peraturan ini kami sosialisasikan sebagai acuan bagi masyarakat, kementerian dan lembaga, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, termasuk pemerintah desa, untuk mendukung upaya penghapusan faktor penyebab TPPO sedini mungkin dan mencegah terulangnya kembali orang yang menjadi korban TPPO".  

Acara ini juga diisi dengan dialog publik yang terdiri dari tiga sesi yang menekankan pada sinergi pencegahan dan perlindungan korban perdagangan orang di tingkat lokal dan nasional, terutama dengan modus operandi baru dan menyoroti perlunya memperkuat mekanisme rujukan gugus tugas. Sesi pertama difokuskan untuk membahas kebijakan pemerintah dalam mencegah TPPO, sementara sesi kedua membahas dukungan berbagai pemangku kepentingan untuk mencegah TPPO. Selain itu, sesi ketiga menyoroti praktik-praktik baik dalam pencegahan TPPO berbasis masyarakat. Pada sesi pertama, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawati, menekankan pentingnya kolaborasi berbagai pemangku kepentingan. Beliau menyatakan, "Kunci untuk pencegahan TPPO yang lebih baik di masa depan adalah komitmen, sinergi, dan koordinasi antar kementerian/lembaga, serta penguatan pencegahan berbasis masyarakat dan desa serta kerja sama antar beerbagai pemangku kepentingan."  

Pada sesi kedua, Eny Rofiatul Ngazizah, National Project Officer untuk Unit Counter-Trafficking IOM Indonesia, menyoroti bahwa pencegahan dan penanganan TPPO harus didasarkan pada data kelompok sasaran, provinsi, profil penduduk, dan faktor-faktor lain yang relevan untuk mengukur program dan dampaknya.  

Terakhir, pada sesi terakhir, Yohanes Nedok dari Yayasan Muara Kasih menekankan perlunya memperkuat pencegahan perdagangan orang di Indonesia dengan melibatkan masyarakat di tingkat desa. Ia menyoroti bahwa program-program yang dibuat di tingkat nasional juga harus mempertimbangkan perkembangan di tingkat akar rumput. 

Meskipun telah ada kemajuan, masih terdapat beberapa tantangan dalam mencegah perdagangan orang. Salah satu tantangan utama adalah koordinasi antar lembaga di antara anggota gugus tugas, terbatasnya sumber daya dan pendanaan untuk menjangkau sebagian besar wilayah rawan di Indonesia, kurangnya data akurat tentang perdagangan orang, dan keterbatasan kapasitas sistem penegakan hukum dan peradilan dalam menangani kasus-kasus secara efektif. 

Acara ini menyimpulkan komitmen pemerintah untuk memperkuat Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan meningkatkan koordinasi dan kolaborasi di antara berbagai pemangku kepentingan di tingkat nasional dan lokal. Keterlibatan masyarakat sangat penting untuk mendukung strategi pencegahan perdagangan orang. IOM berkomitmen untuk mendukung upaya Indonesia dalam memberantas perdagangan orang. Acara ini terlaksana berkat dukungan dari IOM-Asia Regional Migration Program.