Bariyah, Pekerja Migran dan Aktivis

Bariyah adalah seorang perempuan yang aktif bekerja dalam membela para pekerja migran Indonesia.  Berawal dari seorang wanita lugu dan minim informasi terkait migrasi ke luar negeri, Iyah menjangkau dunia untuk mengadu nasib demi kehidupan yang lebih baik. Tanpa disadari, rangkaian kejadian yang dialami telah membentuknya untuk menjadi seorang perempuan tangguh yang secara kontinyu menyuarakan hak-hak para pekerja migran yang rentan mengalami ketidak-adilan.

Muda dan Berkarya

Iyah, demikian panggilan akrabnya lahir di Kebumen, Jawa Tengah. Ia adalah anak ke 2 dari 7 bersaudara dan dibesarkan oleh kedua orang-tuanya yang berprofesi sebagai petani.

Ketika beranjak dewasa, salah satu keinginan Iyah adalah mendapatkan pekerjaan, sehingga dapat meringankan beban orang tuanya. Maka ketika kesempatan itu datang, Iyah yang ketika itu masih duduk di bangku SMK segera memutuskan mendaftarkan diri sebagai calon pekerja migran Indonesia.  “Ini kesempatan yang bagus dan tidak boleh saya lewatkan karena sebentar lagi saya akan menyelesaikan pendidikan dari sekolah menengah kejuruan. Dan lagipula, informasi tentang pekerjaan ini, saya terima dari guru sekolah saya, jadi waktu itu saya merasa bahwa informasi ini valid dan dapat dipertanggungjawabkan” kata iyah.

Proses perekrutan pekerja migran Indonesia untuk luar negeri berlangsung di Yogyakarta. Ia bersama-sama dengan teman-teman sekolahnya dengan seksama menjalani proses tersebut. “Proses sangat mudah dan tidak menyulitkan, “jelas iyah.

Namun tidak dapat dipungkiri, Iyah menemukan beberapa kejanggalan dalam proses perekrutan seperti umur yang dituakan dalam dokumen perjalanan – hal ini dilakukan agar para calon pekerja memenuhi standar umur bekerja di negara tujuan.  Selain itu, PJTKI  di Yogyakarta tidak menjelaskan hal-hal yang terkait dengan pengenalan kebudayaan negara tujuan, tidak memberikan pelatihan bahasa, bahkan penahanan ijazah SMK.  “Ijazah saya hanya dapat diambil jika kontrak kerja saya telah berakhir,” ungkapnya.  Walaupun demikian, sebagai gadis yang masih belia, Iyah tidak berani untuk mempertanyakan lebih lanjut. Ia memilih untuk diam dan mengikuti prosedur yang berlaku.

Penempatan di luar negeri

Ketika sampai di negara tujuan, Iyah bekerja sebagai pegawai kontrak di sebuah perusahaan manufaktur terletak di pinggiran kota.  Ia menempati sebuah flat sederhana yang didiami bersama dengan 12 orang kawan-kawannya.

Iyah menyatakan bahwa gajinya dipotong selama 10 bulan sebesar 60 persen dan ia juga harus membayar biaya penempatan sebanyak 7.5 juta rupiah.  Iyah mengatakan bahwa tiap bulan ada seseorang yang ditugaskan oleh PJTKI untuk datang ke flat tempat iyah tinggal dan  mengumpulkan setoran dari iyah dan teman-temannya. Alih-alih menabung, gaji iyah yang tersisa cukup hanya untuk menjalani kehidupannya.

Pada awal tahun 2009 Iyah menerima kabar dari Indonesia yang cukup mengejutkan, bahwa guru sekolahnya ditangkap dengan dugaan pemalsuan dokumen pekerja migran. Diakui oleh Iyah setiap tahun sekolahnya memang memberangkatkan anak-anak didik mereka keluar negeri untuk bekerja. “Di sekolah saya ada Bursa Kerja Khusus. Memang ada perekrutan tiap tahunnya untuk para siswa/siswi yang ingin bekerja diluar negeri,” katanya.  Dengan tegas Iyah mengatakan bahwa seharusnya lembaga pendidikan tidak boleh terlibat dalam proses perekrutan pekerja migran. Sebagai instansi pendidikan, sekolah hanya dapat bertindak sebagai pemberi informasi tentang lowongan pekerjaan bagi para siswa/siswi yang membutuhkan.

Berita buruk tersebut tidak berhenti sampai disitu.  Menginjak bulan ke-14, Iyah dipanggil oleh pihak manajemen kantor tempatnya bekerja. Tanpa basa-basi, pihak manajemen memberikan ultimatum bahwa kontrak kerja Iyah harus berakhir. Alasan yang dikemukan karena perusahaan tersebut mengalami kerugian dalam jumlah besar dan Iyah hanya dibekali dengan tiket pesawat untuk kembali ke Indonesia dan gaji dimuka untuk dua bulan masa kerja. Sementara itu, masa kontrak kerja Iyah masih tersisa 10 bulan lagi.  Terjadi pemecatan massal yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Lebih dari 1000 orang pekerja migran yang terdampak atas kejadian ini.

Kembali ke Tanah Air

Pada tahun 2009, Iyah beserta 130 orang temannya asal Kebumen kembali ke Indonesia dengan perasaan kecewa. Mereka merasa tidak diperlakuan secara adil oleh perusahaan dan tidak ada pembelaan dari pihak PJTKI terkait kasus pemutusan hubungan kerja tersebut. Sekembalinya di Kebumen, Iyah menggerakkan temen-temennya untuk mendapatkan uang kompensasi pemutusan hubungan kerja yang dikelola sebuah asuransi swasta di Indonesia.

“Pekerja migran Indonesia wajib terdaftar dalam sebuah badan asuransi swasta Indonesia yang bernama Proteksi  – hal ini juga diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi No. 23 Tahun 2008 Bab II Pasal 4 tentang jenis-jenis program asuransi bagi para pekerja migran Indonesia, termasuk didalamnya adalah menanggung resiko Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebelum berakhirnya perjanjian kerja, jelas iyah kepada IOM.

Namun proses klaim asuransi tidak berjalan dengan mulus. Dibutuhkan perjuangan dan waktu selama setahun untuk mendapatkan uang kompensasi yang seharusnya menjadi hak mereka.

 “Pada akhirnya asuransi hanya mau mencairkan 40 persen dari dana yang seharus seharusnya kami terima; pihak asuransi menjelaskan bahwa pemecatan masal yang dialami oleh iyah dan teman-temannya asal Kebumen - disebabkan oleh goncangan ekonomi sehingga pihak asuransi tidak dapat mengeluarkan kompensasi kami secara penuh,” tambah iyah.

Wawasan Baru

Selama proses advokasi dengan perusahaan asuransi ini, Iyah berkesempatan untuk bertemu dengan orang-orang dari berbagai kalangan. Suara iyah dan para pekerja migran lainnya menarik perhatian berbagai organisasi pendampingan pekerja migran, seperti organisasi Migrant Care.

“Walaupun saya dan teman-teman lainnya harus menjalani perjalanan panjang dan berliku,  namun perjuangan kami didukung oleh organisasi seperti Migrant Care.  Saya juga mendapatkan bantuan secara cuma-cuma dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta selama proses advokasi dan negosiasi terjadi. Pengalaman tersebut menyadarkan saya betapa pentingnya edukasi dan melek informasi serta terhubung dengan networking yang tepat bagi seorang pekerja migran: terutama perempuan, kata Iyah. 

“Tidak serta merta semua perjuangan didasari oleh besarnya nilai kompensasi yang akan diterima; namun lebih pada supaya kasus – kasus eksploitasi tidak lagi berulang dan dialami oleh pekerja migran perempuan di masa yang akan datang. Namun apabila hal demikian terjadi lagi, maka kaum perempuan pekerja migran mengetahui langkah-langkah yang harus diambil,” tegas Iyah.

Kasus kekerasan terhadap pekerja migran perempuan

Iyah mengakui bahwa kemampuan dirinya terasah sedemikian rupa - melalui pengalaman langsung di lapangan dan pelibatan diri secara aktif dalam organisasi yang bergerak secara khusus dalam isu migran. Maka ketika tahun 2012, Iyah ditawari posisi sebagai staff advokasi –  dengan senang hati ia menerima posisi itu.

Iyah sering kali terlibat dalam menangani kasus perempuan pekerja migran. Salah satu kasus yang diadvokasi oleh Iyah dan masih melekat dalam ingatannya adalah kasus seorang perempuan pekerja migran Indonesia asal Blitar  yang bekerja di Saudi Arabia. Perempuan ini telah hilang kontak dengan suaminya selama delapan tahun. Dalam kurun waktu tersebut si pekerja migran perempuan ini juga tidak menerima gaji dan mengalami tindak kekerasan.

Ketika Iyah diminta terlibat dalam kasus ini, pencarian segera dilakukan melalui media sosial dan juga jaringan kerja migran yang tersebar di tingkat internasional. Akhirnya perempuan pekerja migran ini diselamatkan dan kembali ke tanah. “Dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, peran orang-orang terdekat korban seperti suami, anak, saudara dan orang tua sangat penting. Kasus kekerasan terhadap pekerja migran perempuan dapat terjadi kepada siapapun yang bekerja di luar negeri,” tandas Iyah.

Migrasi dan Perubahan Iklim

Iyah berbagi cerita dengan IOM tentang kelompok tani NTT yang beralih profesi sebagai pekerja migran Indonesia di Malaysia. Sebagai kelompok tani yang bercocok tanam jagung, kelompok ini mengharapkan curah hujan yang cukup bagi kelangsungan upaya pertaniannya. Namun, karena perubahan iklim yang ekstrem serta curah hujan yang tidak menentu menyebabkan gagal panen yang berkepanjangan.  “Kalaupun panen, maka hasil mereka tidak maksimal. Hal inilah yang menyebabkan mereka memutuskan untuk bermigrasi menjadi pekerja di luar negeri.” Menurut Iyah, faktor ekonomi seringkali menjadi alasan utama bagi kebanyakan pekerja migran Indonesia.

Tips bermigrasi yang aman:

  1. Selidiki informasi tentang kesempatan bekerja di luar – lakukan pengecekan di situs formal seperti situs milik lembaga pemerintahan atau organisasi yang terkait migrasi pekerja ke luar negeri.
  2. Proses perekrutan harus sesuai prosedur
  3. Memiliki keberanian untuk melaporkan jika ada hal-hal yang mecurigakan dalam proses bermigrasi.
  4. Bangun koneksi dengan sesama pekerja migran di luar negeri dan juga dengan organisasi terkait untuk mengantisipasi keadaan terburuk
  5. Jadilah pekerja migran Indonesia yang aktif dalam jaringan migrasi