-
Siapa Kami
Siapa KamiOrganisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) adalah bagian dari Sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai organisasi antar-pemerintah terkemuka yang mempromosikan migrasi yang manusiawi dan teratur untuk kepentingan semua. IOM telah hadir di Indonesia sejak 1979.
Tentang
Tentang
IOM Global
IOM Global
-
Kerja kami
Kerja KamiSebagai organisasi antar-pemerintah terkemuka yang mempromosikan migrasi yang manusiawi dan teratur, IOM memainkan peran kunci untuk mendukung pencapaian Agenda 2030 melalui berbagai bidang intervensi yang menghubungkan bantuan kemanusiaan dan pembangunan berkelanjutan. Di Indonesia, IOM mendukung para migran melalui berbagai kegiatan pemukiman kembali, dukungan dan pelindungan.
Apa yang kami lakukan
Apa yang kami lakukan
Cross-cutting (Global)
Cross-cutting (Global)
- Data dan sumber informasi
- Ambil Aksi
- 2030 Agenda
Jutaan Pekerja Migran Indonesia pergi ke luar negeri untuk mencari kesempatan yang lebih baik, namun banyak yang kembali dengan trauma fisik dan psikis karena menjadi korban perdagangan orang.
Meskipun sebagian besar mantan pekerja migran merasakan dampak positif secara ekonomi setelah bekerja di luar negeri, menurut Bank Dunia, Rokaya termasuk salah satu dari mereka yang memiliki pengalaman negatif sebagai pekerja migran. Untuk pulih dari sakit, ia terpaksa berhenti bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Malaysia dan pulang ke Indramayu, Jawa Barat. Namun, ia kemudian terpaksa menerima tawaran untuk bekerja di Erbil, Irak, karena mantan agennya meminta uang sebesar 2 juta rupiah sebagai biaya penempatan kerja di Malaysia.
Di tempat yang baru ini, Rokaya harus mengurus rumah yang sangat luas, dimana ia bekerja dari jam 6 pagi hingga lewat tengah malam, tanpa hari libur. "Saya tidak diberi hari libur. Saya hampir tidak punya waktu untuk istirahat," katanya. "Rasanya seperti di penjara," tambahnya. Kondisi ini memperburuk sakit kepala dan penglihatannya yang sebelumnya memaksanya untuk meninggalkan Malaysia. "Bahkan dalam kondisi sakit, majikan saya menolak untuk membawa saya ke dokter. Mereka juga menyita telepon genggam saya," katanya.
Tidak tahan menghadapi situasi yang kejam ini, Rokaya secara diam-diam merekam sebuah video yang kemudian menjadi viral dan sampai ke Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). Pemerintah kemudian turun tangan untuk membebaskannya. Namun, Rokaya mengatakan bahwa agensinya secara ilegal memotong gajinya untuk biaya tiket pesawat pulang-pergi dan dengan mencekik leher- memaksanya untuk menandatangani sebuah dokumen yang menyatakan agen bebas dari tanggung jawab. Kini dia paham betul: "Kita harus teliti terhadap setiap informasi yang diberikan karena jika kita melewatkan informasi penting, kita yang akan menanggung akibatnya". Rokaya merasa lega bisa kembali ke rumah, namun ia tidak bisa mengklaim uang yang telah dirampas darinya.
Penderitan yang dialami Rokaya juga dialami oleh 544 pekerja migran Indonesia yang didampingi oleh IOM antara tahun 2019 dan 2022 bersama SBMI. Banyak dari mereka yang mengalami kekerasan fisik, psikologis dan pelecehan seksual di luar negeri. Kasus-kasus tersebut masih terjadi meskipun Jakarta telah memberlakukan moratorium pengiriman pekerja migran ke 21 negara di Timur Tengah dan Afrika Utara pada tahun 2015, menyusul eksekusi mati terhadap dua orang pekerja rumah tangga asal Indonesia di Arab Saudi.
Ini adalah situasi yang sering terjadi, kata ketua SBMI, Hariyono Surwano, karena para korban seringkali enggan untuk menceritakan detail pengalaman mereka di luar negeri: "Mereka takut dipandang sebagai orang yang gagal karena mereka pergi ke luar negeri untuk memperbaiki ekonomi, namun malah kembali dengan masalah keuangan."
Bukan hanya rasa malu korban yang mempengaruhi lambatnya kemajuan penuntutan kasus perdagangan orang. Ketidakjelasan hukum dan kesulitan yang dihadapi pihak berwenang dalam menuntut kasus-kasus tersebut juga menjadi hambatan, diperparah lagi dengan polisi yang terkadang menyalahkan korban atas situasi yang dialaminya. Data SBMI menunjukkan sekitar 3.335 orang Indonesia menjadi korban perdagangan orang di Timur Tengah antara tahun 2015 dan pertengahan tahun 2023. Meskipun sebagian besar telah kembali ke Indonesia, hanya 2% yang memperoleh keadilan.
Ini adalah situasi yang sering terjadi, kata ketua SBMI, Hariyono Surwano, karena para korban seringkali enggan untuk menceritakan detail pengalaman mereka di luar negeri: "Mereka takut dipandang sebagai orang yang gagal karena mereka pergi ke luar negeri untuk memperbaiki situasi keuangan mereka, namun kembali dengan masalah keuangan."
Bukan hanya rasa malu korban yang mempengaruhi lambatnya kemajuan penuntutan kasus perdagangan orang. Ketidakjelasan hukum dan kesulitan yang dihadapi pihak berwenang dalam menuntut kasus-kasus tersebut juga menjadi hambatan, diperparah lagi dengan apart penegak hukum yang terkadang menyalahkan korban atas situasi yang dialaminya. Data SBMI menunjukkan sekitar 3.335 orang Indonesia menjadi korban perdagangan orang di Timur Tengah antara tahun 2015 dan pertengahan tahun 2023. Walaupun sebagian besar telah kembali ke Indonesia, hanya 2% yang mampu memperoleh bantuan hukum.
Dalam rangka mengurangi dampak kemanusiaan yang disebabkan oleh perdagangan orang, IOM bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk memperkuat peraturan mengenai migrasi ketenagakerjaan; memberikan pelatihan kepada para penegak hukum agar dapat merespon kasus-kasus perdagangan orang dengan lebih baik; serta bekerja sama dengan mitra-mitra seperti SBMI untuk melindungi para pekerja migran dari eksploitasi dan memulangkan mereka ke negara asalnya bila diperlukan.
"Kasus-kasus seperti yang dialami Rokaya menunjukkan perlunya pendekatan yang berfokus pada korban dan memperkuat sistem perlindungan untuk mencegah pekerja migran menjadi korban perdagangan orang," ujar Jeffrey Labovitz, Kepala Perwakilan IOM di Indonesia.
Lebih dari 3,3 juta orang Indonesia bekerja di luar negeri pada tahun 2021, menurut Bank Indonesia, lebih dari 5 juta pekerja migran tidak berdokumen saat ini berada di luar negeri, berdasarkan estimasi dari BP2MI. Lebih dari tiga perempat pekerja migran Indonesia bekerja di sektor pekerjaan yang membutuhkan keterampilan rendah dengan upah hingga enam kali lipat dari upah di dalam negeri. Bagi mereka yang menjadi korban perdagangan orang, pengalamannya jarang sekali positif.
Seorang nelayan, Saenudin, yang berasal dari Kepulauan Seribu, Jawa, juga berbagi cerita tentang pengalaman buruknya akibat perdagangan manusia. Pada tahun 2011, ia menandatangani kontrak untuk bekerja di sebuah kapal penangkapan ikan asing, dengan harapan dapat memberikan kehidupan yang lebih baik untuk keluarganya. Namun di laut, ia dipaksa bekerja 20 jam sehari untuk menarik jaring dan memisahkan hasil tangkapan, dan hanya dibayar untuk tiga bulan pertama dari 24 bulan periode kerja yang melelahkan.
Pada bulan Desember 2013, pihak berwenang Afrika Selatan menahan kapalnya di lepas pantai Cape Town, tempat kapal tersebut menangkap ikan secara ilegal, dan menahan Saenudin selama tiga bulan sebelum IOM dan Kementerian Luar Negeri membantu memulangkannya berikut 73 pelaut Indonesia lainnya.
Sejak sembilan tahun yang lalu, Saenudin telah berjuang untuk mendapatkan kembali 21 bulan gajinya yang belum dibayar, sebuah proses hukum yang memaksanya untuk menjual semua yang ia miliki kecuali rumahnya. "Perjuangan ini telah memisahkan saya dari keluarga saya," katanya. Ia menyadari bahwa perjuangan panjang ini tidak akan berakhir dalam waktu dekat, namun ia tetap gigih. "Saya ingin untuk terus maju, meskipun itu membutuhkan waktu yang lama," katanya.
Mulai dari proses perekrutan, pra-pemberangkatan, hingga pendampingan korban, IOM terus bekerja sama dengan para pemangku kepentingan terkait untuk mengeliminasi kasus-kasus seperti Rokaya dan Saenudin. Pada tahun 2022, IOM telah melatih 89 hakim, praktisi hukum, dan paralegal dalam mengadili kasus-kasus perdagangan orang, termasuk menerapkan pendekatan yang mempriotitaskan korban anak dan sensitif gender, serta 162 anggota gugus tugas anti-perdagangan orang di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Utara.