Di seluruh dunia, pengungsi dan pencari suaka dihadapkan pada keadaan dan pengalaman tragis dan tidak menguntungkan yang memaksa mereka untuk meninggalkan negara asal mereka. Akibatnya, banyak yang rentan mengalami stres psikologis di setiap tahap perjalanan mereka. Pertama, mereka rentan mengalami kekerasan saat melakukan perjalanan mencari suaka. Setibanya di negara transit, mereka rentan mengalami stres karena harus menunggu bertahun-tahun untuk konfirmasi pemukiman kembali (resettlement). Apalagi, ketika mereka akhirnya tiba di negara tujuan, mereka dihadapkan pada berbagai masalah, seperti pengangguran dan diskriminasi. Semua pengalaman ini terkait dengan peningkatan masalah kesehatan mental yang parah dan risiko bunuh diri di antara komunitas pengungsi di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Dalam dua tahun terakhir, IOM Indonesia mencatat peningkatan depresi di kalangan pengungsi karena berlarut-larutnya tinggal dan juga karena membawa tekanan migrasi dari satu negara ke negara lain. Pada 2019, IOM mendukung akses perawatan psikiatri untuk 261 pengungsi. Sementara itu, pada 2020 jumlah ini bertambah menjadi 271 dan 385 pada 2021. Selain itu, pada 2020 hingga 2021, 655 pengungsi mengakses layanan konseling, 29 di antaranya membutuhkan bantuan profesional menyusul upaya bunuh diri atau tindakan melukai diri sendiri. Tragisnya, dalam periode yang sama, enam pengungsi bunuh diri.

Meskipun pengungsi dan migran umumnya merupakan kelompok yang berisiko dan sangat bergantung pada bantuan, dari perspektif berbasis kekuatan, mereka dipandang memiliki sumber daya dan kekuatan pribadi dan lingkungan yang spesifik untuk bertanggung jawab atas diri mereka sendiri dan komunitas mereka. Oleh karena itu, bagi IOM, memobilisasi sumber daya komunitas pengungsi sangat penting untuk mengurangi risiko dan menciptakan masyarakat yang berfokus pada kesehatan.

Dengan pendekatan ini, IOM membentuk sekelompok penjaga gerbang (Gatekeeper) bunuh diri dari komunitas pengungsi dan memberi mereka pelatihan tentang pencegahan dan respon terhadap bunuh diri untuk meningkatkan pengetahuan mereka dan mencari solusi bersama.

 

Berikut beberapa kutipan dari Kelompok Gatekeeper di Medan, Sumatera Utara, setelah mereka menerima pelatihan pencegahan bunuh diri di kalangan komunitas pengungsi.

 

S (Laki-laki, Somalia, 25 tahun)

"Membantu orang lain adalah kemampuan untuk memahami orang lain, bekerja secara individu dan kolektif, pengembangan diri dan respon cepat, memahami orang yang frustrasi."

D (Laki-laki, Somalia, 29 tahun)

"Pengamatan sangat penting. Saya harus mengenali tanda-tandanya, menjadi pendengar yang baik, dan penuh perhatian, sehingga saya dapat mendukung dan memfasilitasi dengan IOM untuk memberikan perawatan yang dibutuhkan orang tersebut."

A (Laki-laki, Sudan, 46 tahun)

"Memberikan ruang bagi mereka yang memiliki pikiran untuk bunuh diri dapat mencegah mereka melakukan upaya bunuh diri. Kita harus memberi tahu orang tersebut bahwa kita peduli dan bahwa dia tidak sendirian."

W (Perempuan, Pakistan, 31 tahun)

"Saya percaya kita tidak harus menjadi seorang profesional yang memenuhi syarat atau bersertifikat untuk menjadi Gatekeeper. Terkadang senyum sederhana dan beberapa kata bisa melakukan keajaiban."

Y (Laki-laki, Somalia, 30 tahun)

"Dari pelatihan, saya mulai memahami gambaran yang lebih besar tentang bunuh diri dan peran saya dalam mencegah tragedi semacam itu."

S (Perempuan, Iran, 52 tahun):

"Menunjukkan rasa hormat dan menghargai setiap orang secara setara sangat penting. Jika seseorang menjangkau Anda dengan masalah mereka, Anda harus mendengarkan dan tidak menghakimi."

Kelompok Gatekeeper di Medan saat pelatihan pencegahan bunuh diri.